Selasa, 12 Oktober 2010

laporan akhir dastek

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara kita merupakan negara perairan yang terdiri dari perairan laut dan perairan darat (tawar) yang kaya akan sumberdaya ikan yang sangat potensial jika dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Perikanan air tawar di Indonesia meliputi perikanan di kolam-kolam, di sawah-sawah, di danau-danau, di rawa-rawa dan di daerah sungai-sungai. Perikanan yang dibudidayakan di kolam-kolam diusahakan kolam yang terjamin pengairannya dan subur keadaan tanahnya. Air yang digunakan jangan sekali-sekali mengandung zat yang dapat mengganggu ikan, misalnya belerang (sulfur), terlalu banyak kapur, macam-macam limbah dari pabrik dan lain-lain. Limbah dari pabrik-pabrik tersebut merupakan racun bagi ikan dan ini dapat merusak kelangsungan hidup ikan (Rismunandar, 1986).
Untuk perikanan di daerah sawah-sawah, yang harus diperhatikan adalah pemeliharaan ikan yang tepat sehingga tidak menggangu populasi tanaman padi yang ada di dalam petakan sawah tersebut. Perikanan di daerah danau dapat dilakukan sama dengan perikanan di kolam, karena asumsi masyarakat setempat danau merupakan kolam yang besar. Karena biasanya di danau itu terdapat banyak tumbuh-tumbuhan, maka ikan tawes, nilem, mujair, gurami, sepat siam, merupakan macam-macam ikan yang baik untuk ditempatkan di danau-danau tersebut. Sementara perikanan di rawa, ikan yang ada biasanya adalah ikan-ikan yang hidup di sungai. Dan ikan-ikan yang terdapat di sungai itu pun oleh masyarakat alat penangkapannya saja yang disempurnakan, sehingga dari persediaan yang sangat banyak itu dapat pula dihasilkan ikan yang banyak pula (Rismunandar, 1986).
Ada sekitar 106 jenis ikan kucing atau ikan berkumis (catfish) di Indonesia yang potensial untuk dibudidayakan. Namun yang popular dibudidayakan hanya sedikit, salah satunya adalah ikan lele lokal atau Clarias batrachus. Ikan lele merupakan salah satu konsumsi penting di Indonesia. Perkembangan budidaya lele baru dilakukan pada tahun 1975 di Blitar, Jawa Timur (Kordi, 2004).
Ikan lele memiliki sifat unggul sehingga layak dipilih untuk menjadi ikan budidaya. Lele dapat mencapai ukuran 1 kg per ekor. Lele juga mudah beradaptasi pada berbagai perairan tawar serta tahan terhadap serangan penyakit khususnya bakteri Aeromonas. Apalagi untuk membudidayakan ikan ini masih tersedia masih cukup lahan, seperti sungai, danau, waduk dan rawa-rawa serta badan air lainnya (Kordi, 2004).
Biasanya, harga ikan lele hidup lebih mahal dibandingkan harga ikan lele yang sudah mati. Oleh karena itu, pemanenan dan penanganan harus hati-hati. Ikan yang baru dipanen dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air segar. Selanjutnya ikan-ikan yang hendak diangkut harus menggunakan wadah yang memenuhi syarat agar ikan tetap hidup, misalnya dengan kantong plastik
(Kordi, 2004).
Pengolahan hasil merupakan cara lain untuk menghilangkan bau lumpur pada ikan lele. Pengolahan hasil dikelompokkan dalam pengolahan untuk dimakan langsung dan pengawetan (Moelyanto, 1992).

B. Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum pengamatan Kemunduran Mutu Ikan ini adalah sebagai berikut :
1. Memperoleh pengetahuan secara langsung ciri-ciri kemunduran mutu pada ikan
2. Memperoleh data lamanya proses kemunduran mutu berbagai jenis ikan air tawar


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistematika
Adapun sistematika dari ikan-ikan yang akan digunakan dalam praktikum Pengamatan Kemunduran Mutu Ikan ini adalah sebagai berikut :
1. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Menurut Saanin (1992) sistematika dari ikan nila adalah sebagai berikut :
kerajaan : Animalia
filum : Chordata
kelas : Osteichtyes
ordo : Perciformes
famili : Cichlidae
genus : Oreochromis
species : Oreochromis niloticus
Ikan nila adalah sejenis ikan konsumsi air tawar. Ikan ini diintroduksi dari Afrika tepatnya Afrika bagian timur yaitu di sungai Nil (Mesir), Danau Tangayika, Chad, Nigeria, dan Kenya pada tahun 1969, dan kini menjadi ikan peliharaan yang populer di kolam-kolam air tawar di Indonesia. Nama ilmiahnya adalah Oreochromis niloticus, dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Nile Tilapia. Genus Oreochromis merupakan genus ikan yang beradaptasi tinggi dan mempunyai toleransi terhadap kualitas air dengan kisaran yang lebar. Genus ini dapat hidup dalam kondisi lingkungan yang ekstrim sekalipun karena sering kali ditemukan hidup normal pada habitat-habitat yang ikan air tawar dari jenis lain tidak dapat hidup. Ciri ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah garis vertikal yang berwarna gelap di sirip ekor sebanyak enam buah, di sirip punggung (dorsal), sirip dubur (anal), berpunggung tinggi dan rendah. Ikan nila yang masih kecil belum tampak perbedaan alat kelaminnya. Setelah berat badannya mencapai 50 gram, dapat diketahui perbedaaan antara jantan dan betina. Untuk membedakan antara ikan jantan dan betina dapat dilakukan dengan mengamati seksama lubang genitalnya (kelamin sekunder). Pada ikan jantan, warna tubuhnya lebih gelap, tulang rahang melebar ke belakang yang memberi kesan kokoh, terdapat lubang anus dan satu lubang genital yang berupa tonjolan agak kecil meruncing sebagai saluran pengeluaran air kencing dan sperma. Rasio jumlah ikan jantan dan betina ideal adalah 3:1, yaitu jumlah ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan. Padat penebaran disesuaikan dengan wadah atau kolam budidayanya. Bila ikan nila dipelihara dalam kepadatan populasi yang tinggi, pertumbuhannya kurang pesat. Kualitas air yang kurang baik akan mengakibatkan pertumbuhan ikan menjadi lambat (Annonim, 2010).
2. Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Menurut Saanin (1992) sistematika dari ikan mas adalah sebagai berikut :
phyllum : Chordata
Subphyllum : Vertebrata
superclass : Pisces
class : Osteichthyes
subclass : Actinopterygii
ordo : Cypriniformes
subordo : Cyprinoidea
family : Cyprinidae
subfamily : Cyprininae
genus : Cyprinus
species : Cyprinus carpio
Ikan mas memiliki tubuh memanjang dan agak pipih ke samping. Ukuran dan warna badan sangat beragam. Seluruh tubuhnya ditutupi sisik yang bersifat sikloid, mulut terletak di ujung dan dapat disembulkan. Pada bagian mulut terdapat sepasang sungut. Sirip punggung panjang dengan bagian belakang berjari-jari keras. Ikan mas merupakan ikan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, dagingnya banyak disukai orang, mudah berkembang biak, dan mudah beradaptasi. Ikan mas merupakan ikan yang mudah dipijahkan, dapat memanfaatkan makanan buatan, relatif tahan terhadap penyakit, pertumbuhannya cepat dan mempunyai toleransi yang besar terhadap kisaran suhu dan terhadap oksigen terlarut (Amri, 2008).
3. Ikan Patin (Pangasius pangasius)
Menurut Saanin (1992) sistematika dari ikan patin adalah sebagai berikut :
phyllum : Chordata
subphyllum : Vertebrata
class : Pisces
ordo : Ostarioplaysi
subordo : Siluriodea
famili : Pangasidae
genus : Pangasius
spesies : Pangasius pangasius
Budidaya ikan patin (Pangasius hypopthalmus) mulai berkembang pada tahun 1985. Tidak seperti ikan mas dan ikan nila, pembenihan patin siam agak sulit. Karena ikan ini tidak bisa memijah secara alami. Pemijahan patin siam hanya bisa dilakukan secara buatan atau lebih dikenal dengan istilah kawin suntik (induce breeding) (Amri, 2008) .
Di setiap tempat, nama patin berbeda-beda. Di Vietnam, patin siam disebut Ca Tre Yu, di Kamboja disebut Trey Pra. Dalam Bahasa Inggris, Patin Siam disebut Catfish, River Catfish, atau Striped Catfish. Sedangkan di Indonesia, selain dinamakan ikan patin disebut juga jambal siam, atau lele bangkok (Jawa), dan ikan juara (Sumatra dan Kalimantan) (Anonim, 2010).
4. Ikan Sardin (Sardinella sirm)
Menurut Saanin (1992) sistematika dari ikan sardin adalah sebagai berikut :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
sub-Filum : Vertebrata
kelas : Pisces
ordo : Malacopterygii
family : Cluipeidae
genus : Sardinella
species : Sardinella sirm
Ikan sardin tersebar diseluruh perairan Indonesia melebar sampai ke utara sampai Oknawa dan ke selatan sampai ujung utara Australia ke barat samapai ke Afrika Timur. Ikan sardin betina memiliki ciri bentuk badan memanjang perut bulat dengan sisik duri 12-18 buah. Sirip perut sedikit menonjol dari pertengahan lebih dekat kearah moncong. Sirip punggung berjari-jari lemah 15-18 sedangkan sirip belakang 18-20, terdapat sisik tambahan pada sirip perutnya. Lapisan insang halus berjumlah 36-42 buah. Hidup di perairan pantai lepas dan pemakan plankton halus. Warna badan ikan sardin bagian atas berwarna biru kehijauan, bagian bawah berwarna putih perak, totol gelap pada bagian atas badan, siripnya abu-abu kekuningan, sirip ekor kehitaman sedikit kotor (Amri, 2008).
5. Ikan Kembung (Rastrelliger sp)
Menurut Saanin (1992) sistematika dari ikan kembung adalah sebagai berikut:
filum : Chordata
sub Filum : Vertebrata
kelas : Actinopterygii
ordo : Percomorphi
family : Scombridae
genus : Rastrelliger
species : Rastrelliger sp
Ikan kembung memiliki bentuk badan seperti anak ikan cakalang, tetapi bukan termasuk kedalam ikan cakalang. Panjang tubuhnya antara 15-40 cm dengan berat antara 300 gr sampai 1 kg/ekor. Ikan kembung ini tidak begitu langsing, bentuknya pendek, gepeng dan agak lebar. Lapisan insang halusnya berukuran kira-kira 29-34 cm yang terdapat pada bagian bawah insang pertama. Ususnya sangat panjang sekitar 3,4 kali panjang badannya. Ikan ini merupakan ikan pemakan plankton. Ikan kemnbung berwarna putih agak keperak-perakan pada bagian atasnya dan pada bagian bawahnya berarna putih. Terdapat seperti bintik-bintik hitam pada bagian punggungnya. Sirip pada punggung bagian bawahnya berwarna kuning keabuan dengan pinggiran gelap (Amri, 2008).
6. Ikan Tongkol (Auxis thazard)
Menurut Saanin (1992) sistematika dari ikan tongkol adalah sebagai berikut :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Pisces
ordo : Percobriformes
sub ordo : Scombroidae
famili : Scombroidae
genus : Auxis
spesies : Auxis thazard
Ikan tongkol (Auxis thazard) tergolong ikan pelagis. Ikan ini mempunyai bentuk badan memanjang kaku, bulat, terdapat dua sirip punggung. Sirip pertama terdiri atas 10 jari-jari dan sirip yang kedua 11 jari-jari dan pada sirip anal terdapat 14 jari-jari. Badan ikan tongkol tidak terdapat sisik kecuali pada bagian korselet yang tumbuh sempurna dan mengecil pada bagian belakang. Ikan tongkol termasuk ikan buas dan predator, hidup di daerah pantai dan lepas pantai dan bergerombol besar. Ikan tongkol memakan ikan kecil-kecil dan cumi-cumi. Ikan ini dapat mencapai ukuran panjang 50 cm, namun pada umumnya panjangnya hanya berkisar antara 25-40 cm. Daerah penyebarannya diseluruh wilayah pantai dan lepas pantai perairan Indonesia (Amri, 2008).

B. Kemunduran Mutu Ikan
Komoditas pangan secara umum mempunyai sifat mudah mengalami kerusakan (perisable). Demikian juga dengan ikan, ikan secara alami mengandung komponen gizi seperti lemak, protein, karbohidrat dan air yang sangat disukai oleh mikroba perusak sehingga ikan sangat mudah mengalami kerusakan bila disimpan pada suhu kamar (Anonim, 2010).
1. Proses Penurunan Mutu
Secara umum ikan diperdagangkan dalam keadaan sudah mati dan seringkali dalam keadaan masih hidup. Pada kondisi hidup tentu saja ikan dapat diperdagangkan dalam jangka waktu yang lama. Sebaliknya dalam kondisi mati ikan akan segera mengalami kemunduran mutu. Segera setelah ikan mati, maka akan terjadi perubahan-perubahan yang mengarah kepada terjadinya pembusukan. Perubahan-perubahan tersebut terutama disebabkan adanya aktivitas enzim, kimiawi dan bakteri ( Anonim, 2010).
Enzim yang terkandung dalam tubuh ikan akan merombak bagian-bagian tubuh ikan dan mengakibatkan perubahan rasa (flavor), bau (odor), rupa (appearance) dan tekstur (texture). Aktivitas kimiawi adalah terjadinya oksidasi lemak daging oleh oksigen. Oksigen yang terkandung dalam udara mengoksida lemak daging ikan dan menimbulkan bau tengik (rancid) ( Anonim, 2010).
Perubahan yang diakibatkan oleh bakteri dipicu oleh terjadinya kerusakan komponen-komponen dalam tubuh ikan oleh aktivitas enzim dan aktivitas kimia. Aktivitas kimia menghasilkan komponen yang yang lebih sederhana. Kondisi ini lebih disukai bakteri sehingga memicu pertumbuhan bakteri pada tubuh ikan
( Anonim, 2010).
Dalam kenyataannya proses kemunduran mutu berlangsung sangat kompleks. Satu dengan lainnya saling kait mengait, dan bekerja secara simultan. Untuk mencegah terjadinya kerusakan secara cepat, maka harus selalu dihindarkan terjadinya ketiga aktivitas secara bersamaan ( Anonim, 2010).
2. Perubahan-Perubahan Ikan Setelah Ikan Mati
Adapun perubahan setelah ikan mati yaitu sebagai berikut :
a. Hyperaemia
Hyperaemia merupakan proses terlepasnya lendir dari kelenjar-kelenjar yang ada di dalam kulit. Proses selanjutnya membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir, akibat dari reaksi khas suatu organisme. Lendir tersebut terdiri dari gluko protein dan merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri ( Anonim, 2010).
b. Rigormortis
Seperti terjadi pada daging sapi dan daging hewan lainnya, fase ini ditandai oleh mengejangnya tubuh ikan setelah mati. Kekejangan ini disebabkan alat-alat yang terdapat dalam tubuh ikan yang berkontraksi akibat adanya reaksi kimia yang dipengaruhi atau dikendalikan oleh enzim. Dalam keadaan seperti ini, ikan masih dikatakan sebagai segar (Anonim, 2010).
c. Autolysis
Fase ini terjadi setelah terjadinya fase rigor mortis. Pada fase ini ditandai ikan menjadi lemas kembali. Lembeknya daging Ikan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat sehingga terjadi pemecahan daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Anonim, 2010).
d. Bacterial decomposition (dekomposisi oleh bakteri)
Pada fase ini bakteri terdapat dalam jumlah yang banyak sekali, sebagai akibat fase sebelumnya. Aksi bakteri ini mula-mula hampir bersamaan dengan autolysis, dan kemudian berjalan sejajar.Bakteri menyebabkan ikan lebih rusak lagi, bila dibandingkan dengan autolisis (Anonim, 2010).
Bakteri adalah jasad renik yang sangat kecil sekali, hanya dapat dilihat dengan mikroskop yang sangat kuat dan tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Jenis-jenis bakteri tersebut adalah: Pseudomonas, Proteus achromobacter, Terratia, dan Elostridium (Anonim, 2010).
Selama ikan masih dalam keadaan segar, bakteri-bakteri tersebut tidak mengganggu. Akan tetapi jika ikan mati, suhu badan ikan menjadi naik, mengakibatkan bakteri-bakteri tersebut segera menyerang. Segera terjadi pengrusakan jaringan-jaringan tubuh ikan, sehingga lama kelamaan akan terjadi perubahan komposisi daging. Mengakibatkan ikan menjadi busuk. Bagian-bagian tubuh ikan yang sering menjadi terget serangan bakteri adalah (Anonim, 2010) :
1) Seluruh permukaan tubuh,
2) Isi perut,
3) Insang.
Beberapa hal yang menyebabkan ikan mudah diserang oleh bakteri adalah sebagai berikut:
1) Ikan segar dan kerang-kerangan mengandung lebih banyak cairan dan sedikit lemak, jika dibanding dengan jenis daging lainnya. Akibatnya bakteri lebih mudah berkembang biak.
2) Struktur daging ikan dan kerang-kerangan tidak begitu sempurna susunannya, dibandingkan jenis daging lainnya. Kondisi ini memudahkan terjadinya penguraian bakteri.
3) Sesudah terjadi peristiwa rigor, ikan segar dan kerang-kerangan mudah bersifat alkaline/basa. Kondisi Ini memberikan lingkungan yang sesuai bagi bakteri untuk berkembang biak.
3. Penurunan mutu ikan oleh pengaruh fisik
Penurunan mutu ikan juga dapat terjadi oleh pengaruh fisik. Misal kerusakan oleh alat tangkap waktu ikan berada di dek, di atas kapal dan selama ikan disimpan di palka. Kerusakan yang dialami ikan secara fisik ini disebabkan karena penanganan yang kurang baik. Sehingga menyebabkan luka-luka pada badan ikan dan ikan menjadi lembek (Anonim, 2010).
Hal-hal ini dapat disebabkan karena:
a. Ikan berada dalam jaring terlalu lama, misal dalam jaring trawl, penarikan trawl terlalu lama. Kondisi ini dapat menyebabkan kepala atau ekor menjadi luka atau patah.
b. Pemakian ganco atau sekop terlalu kasar, sehingga melukai badan ikan dan ikan dapat mengalami pendarahan.
c. Penyimpanan dalam palka terlalu lama.
d. Penanganan yang ceroboh sewaktu penyiangan, mengambil ikan dari jaring, sewaktu memasukkan ikan dalam palka, dan membongkar ikan dari palka.
e. Daging ikan juga akan lebih cepat menjadi lembek, bila kena sinar matahari.
1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penurunan Mutu Ikan
Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi penurunan mutu ikan yaitu :
a. Cara Penangkapan
Ikan yang ditangkap dengan alat trawl, pole, line, dan sebaginya akan lebih baik keadaannya bila dibandingkan dengan yang ditangkap menggunakan ill-net dan long-line. Hal ini dikarenakan pada alat-alat yang pertama, ikan yang tertangkap segera ditarik di atas dek, sedangkan pada alat-alat yang kedua ikan yang tertangkap dan mati dibiarkan terendam agak lama di dalam air. Kondisi ini menyebabkan keadaan ikan sudah tidak segar sewaktu dinaikkan ke atas dek (Anonim, 2010).
b. Reaksi Ikan Menghadapi Kematian
Ikan yang dalam hidupnya bergerak cepat, contoh tongkol, tenggiri, cucut, dan lain-lain, biasanya meronta keras bila terkena alat tangkap. Akibatnya banyak kehilangan tenaga, cepat mati, rigor mortis cepat terjadi dan cepat pula berakhir. Kondisi ini menyebabkan ikan cepat membusuk (Anonim, 2010).
Berbeda dengan ikan bawal, ikan jenis ini tidak banyak memberi reaksi terhadap alat tangkap, bahkan kadang-kadang ia masih hidup ketika dinaikkan ke atas dek. Jadi masih mempunyai banyak simpanan tenaga. Akibatnya ikan lama memasuki rigor mortis dan lama pula dalam kondisi ini. Hal ini menyebabkan pembusukan berlangsung lambat (Anonim, 2010).
c. Jenis dan Ukuran Ikan
Kecepatan pembusukan berbeda pada tiap jenis ikan, karena perbedaan komposisi kimia ikan. Ikan-ikan yang kecil membusuk lebih cepat dari pada ikan yang lebih besar (Anonim, 2010).
d. Keadaan Fisik Sebelum Mati
Ikan dengan kondisi fisik lemah, misal ikan yang sakit, lapar atau habis bertelur lebih cepat membusuk (Anonim, 2010).
e. Keadaan Cuaca
Keadaan udara yang panas berawan atau hujan, laut yang banyak bergelombang, mempercepat pembusukan (Anonim, 2010).
III. METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat
Praktikum Pengamatan Kemunduran Mutu Ikan ini dilaksanakan pada tanggal 7 April 2010 pukul 14.30 s/d 16.00 WIB di Laboraturium Teknologi Hasil Perikanan, Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Indralaya.

B. Alat dan Bahan
Adapun Alat dan Bahan yang digunakan dalam praktikum Pengamatan Kemunduran Mutu Ikan adalah sebagai berikut :
1. Bahan
Pada Praktikum ini digunakan 3 ekor ikan sebagai sampel percobaan sehingga dapat digunakan sebagai pembanding. Adapun ada jenis ikan yang digunakan adalah sebagai berikut Ikan Nila (Oreochromis niloticus), Ikan Mas (Cyprinus carpio), Ikan Patin (Pangasius pangasius), Ikan sardine (Sardinella sirm), Ikan Kembung (Rastrelliger sp) dan Ikan Tongkol (Auxis thazard)
2. Alat
Adapun Alat yang digunakan dalam praktikum Pengamatan Kemunduran Mutu ikan ini adalah Baskom, Kater dan Plastik Meja Makan.

C. Cara Kerja
Adapun Alat yang digunakan dalam praktikum Pengamatan Kemunduran Mutu ikan ini adalah sebagai berikut :
1. Ikan di amati kondisi fisiknya mulai dari mata, ingsang tekstur daging, keadaan kulit, dan lender, keadaan perut dan sayatan daging serta bau.
2. Data yang di peroleh di masukkan dalam tabel.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Setelah melasanakan praktikum Pengamatan Kemunduran Mutu Ikan ini diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Pengamatan Praktikum Pengamatan Kemunduran Mutu Ikan
Kelompok No Sampel Ikan segar Ikan busuk Keterangan
I. Ikan Nila
(Oreochormis niloticus)
1  Mata bening, insang merah, lendir sedikit, daging & masih menempel serta baunya segar
2  Mata bening, insang merah, lendir sedikit, daging & masih menempel serta baunya segar
3  Mata cekung, insang kecoklatan, daging tak elastik, lendir banyak, daging tidak menempel lag pada tulang.
II. Ikan Mas
(Cyprinus carpio) 1  Enam bagian ikan menunjukkan segar kecuali insang berwarna coklat
2  Enam bagian ikan menunjukkan segar kecuali insang berwarna coklat
3  Mata, insang, daging termasuk katagori busuk.
III. Ikan Patin
(Pangasius pangasius) 1  Enam bagian ikan menunjukkan segar kecuali insang
2  Enam bagian ikan menunjukkan segar kecuali insang
3  Enam bagian ikan menunjukkan segar kecuali insang dan mata
IV. Ikan Sardine
(Sardinella sirm) 1  Enam bagian ikan menunjukkan busuk
2  Enam bagian ikan menunjukkan busuk
3  Enam bagian ikan menunjukkan busuk
V. Ikan Kembung
(Rastrelliger sp)
1  Enam bagian ikan menunjukkan busuk
2  Enam bagian ikan menunjukkan busuk
3  Enam bagian ikan menunjukkan busuk
VI. Ikan Tongkol
(Auxis thazard)
1  Mata bening, insang merah, lendir sedikit, daging & masih menempel serta baunya segar
2  Mata cekung, insang kecoklatan, daging tak elastik, lendir banyak, daging tidak menempel lag pada tulang.
3  Mata bening, insang merah, lendir sedikit, daging & masih menempel serta baunya segar


B. Pembahasan
Dari hasil pengamatan atau praktikum yang kami lakukan masih perbandingan ikan yang termasuk ikan segar dan ikan yang busuk itu sama yakni sama sama sembilan ekor. Pada kelompok 1, 2, dan 6 ikan yang segarnya masing masing ada dua ekor. Sedangkan pada kelompok 4 dan 5 semuanya ikan tampak busuk. Sedangkan ikan yang terdapat pada kelompok 3 itu semuanya masih dalam keadaan segar. Ikan yang kami lakukan pengamatan itu dengan melihat tampak terluar terlebih dahulu. Apabila tampak luar masih dalam keadaan baik maka ikan dapat dikatakan ikan tersebut masih dalam keadaan segar. Akan tetapi apabila tampak luar dari ikan telah mengalami proses pembusukan, maka ikan tersebut tidak lagi dapat dikatakan ikan segar.
Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan bahan makanan lain. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu perubahan yaitu dari sifat-sifatnya, bau (odour), cita rasa (flavour), wujud atau rupa (apperance), dan tekstur (texture) daging ikan yang sudah dilakukan pengolahan. Adapun faktor yang mempengaruhi pembusukkan ikan, yaitu Faktor internal, yaitu faktor bilogis seperti jenis dan ukuran ikan, kematangan seks, tingkat kekenyalan, kandungan lemak dan kelainan pada daging ikan.sedangkan faktor eksternal, yang terdiri dari penangkapan, lingkungan, sanitasi dan higiene dan cara penanganan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah sebagai berikut.
1. Ikan merupakan perishable food atau bahan makanan yang mudah mengalami proses pembusukan atau kemunduran mutu.
2. Tahap-tahap kemunduran jenis mutu ikan memiliki rentang waktu yang berbeda untuk setiap tahap fase kemunduran mutu atau pembusukan.
3. Tahapan kemuduran mutu ikamengalami 3 tahapan, yaitu prerigormortis, rigormortis, dan pascarigormortis.
4. Untuk mengatasi kemunduran mutu ikan diperlukan penanganan yang baik yaitu dengan cara pengawetan dan pengolahan.
5. Pengawetan bertujuan untuk mencegah pembusukan dan mengurangi jumlah kandungan air yang terdapat pada daging ikan yang merupakan tempat berkembangnya aktivitas mikroba.


f. Saran
Saran yang dapat diberikan pada praktikum kali ini adalah sebaiknya pelaksanaan praktikum harus lebih tenang agar praktikan dapat mengikuti praktikum dengan lebih baik sehingga praktikan dapat benar-benar memahami apa yang dilaksanakan pada saat praktikum.



I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara kita merupakan negara perairan yang terdiri dari perairan laut dan perairan darat (tawar) yang kaya akan sumberdaya ikan yang sangat potensial jika dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Ikan banyak mengandung protein, lemak, vitamin, dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Selain itu ikan juga memiliki nilai gizi yang sangat tinggi dan dapat digunakan sebagai pengganti daging ternak, namun ikan juga termasuk bahan pangan yang mudah sekali busuk apabila tidak mendapatkan penanganan (Bahar, 2006).
Ikan bersifat perishable food atau mudah mengalami proses pembusukan atau kemunduran mutu. Ikan cepat mengalami pembusukan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu karena tubuh ikan mempunyai kadar air yang tinggi (80 %) dan pH mendekati netral sehingga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme lain, daging ikan mengandung sedikit sekali jaringan pengikat atau tendon, sehingga mudah dicerna oleh enzim autolysis, daging ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh, yang mudah mengalami proses oksidasi (Dirjen Perikanan Tangkap, 2004).
Salah satu kelemahan ikan sebagai bahan makanan ialah sifatnya yang mudah busuk setelah ditangkap dan mati. Oleh karena itu, ikan perlu ditangani dengan baik agar tetap dalam kondisi yang layak dikonsumsi oleh konsumen. Setelah dilakukan penanganan awal berupa sortasi, grading dan pembersihan, maka penanganan selanjutnya antara lain pendinginan, pembekuan, penggaraman, pengeringan dan lain sebagainya (Sugianto, 1986).
Teknik pengawetan yaitu pendinginan, pembekuan, penggaraman dan pengeringan. Pada proses pengawetan dengan cara penggaraman sebenarnya terdiri dari dua proses yaitu proses penggaraman dan proses pengeringan. Ikan yang digarami dan dikeringkan menjadi awet karena garam dapat menghambat atau membunuh bakteri penyebab kebusukan. Selain itu dengan dilakukannnya pengeringan kadar air dalam ikan yang menjadi faktor dasar pertumbuhan bakteri semakin kecil sehingga proses pengawetan dapat lebh sempurna (Bahar, 2006).
Metode pengawetan dengan cara penggaraman merupakan metode pengawetan yang sederhana dan ekonomis, hal ini karena media utama yang menjadi bahan dasar dari dalam pelaksanaan hanya memerlukan garam dan proses pengeringannya yang masih tradisional hanya dengan bantuan sinar matahari saja. Oleh karena itu dilapisan masyarakat sebagian besar metode pengawetan yang dilakukan adalah penggaraman dan pengeringan (Budiman, 2004).
Konsumen dari prodak penggaraman sebagian besar dari kalangan menengah kebawah terutama jenis ikan asin. Hal ini dikarenakan harga yang relatif lebih murah yang disebabkan faktor pelaksanaanya yang tidak rumit, biaya produksi yang relatif rendah, dan dapat dilakukan dalam skala rumah tangga. Dari seluruh faktor-faktor tersebut yang menyebabkan resapan pasar dari prodak hasil penggaraman relatif cukup besar. Dengan demikian prospek usaha yang ditimbulkan cukup baik (Budiman, 2004).

B. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan berbagai macam konsentrasi garam terhadap mutu ikan asin yang dihasilkan serta mengetahui metode penggaraman.





II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistematika
Adapun sistematika dari ikan-ikan yang akan digunakan dalam praktikum Penggaraman dan Pengeringan ini adalah sebagai berikut :
1. Ikan Sepat (Trichogaster sp)
Menurut Saanin (1984) sistematika dari ikan sepat adalah sebagai berikut :
kerajaan : Animalia

filum : Chordata

kelas : Actinopterygii

ordo : Perciformes

family : Osphronemidae

genus : Trichogaster
spesies : Trichogaster sp
Ikan rawa yang bertubuh sedang, panjang total mencapai 25 cm, namun umumnya kurang dari 20 cm. Lebar pipih, dengan mulut agak meruncing. Sirip-sirip punggung (dorsal), ekor, sirip dada dan sirip dubur berwarna gelap. Sepasang jari-jari terdepan pada sirip perut berubah menjadi alat peraba yang menyerupai cambuk atau pecut, yang memanjang hingga ke ekornya, dilengkapi oleh sepasang duri dan 2-3 jumbai pendek. Rumus sirip punggungnya: VII (jari-jari keras atau duri) dan 10–11 (jari-jari lunak) dan sirip anal IX-XI, 36–38
(Amri, 2008).
Ikan yang liar biasanya berwarna perak kusam kehitaman sampai agak kehijauan pada hampir seluruh tubuhnya. Terkadang sisi tubuh bagian belakang nampak agak terang berbelang-belang miring. Sejalur bintik besar kehitaman, yang hanya terlihat pada individu berwarna terang, terdapat di sisi tubuh mulai dari belakang mata hingga ke pangkal ekor (Amri, 2008).
2. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Menurut Saanin (1984) sistematika dari ikan nila adalah sebagai berikut :
kerajaan : Animalia

filum : Chordata

kelas : Osteichtyes

ordo : Perciformes

famili : Cichlidae

genus : Oreochromis

spesies : Oreochromis niloticus
Ikan peliharaan yang berukuran sedang, panjang total (moncong hingga ujung ekor) mencapai sekitar 30 cm. Sirip punggung (dorsal) dengan 16-17 duri (tajam) dan 11-15 jari-jari (duri lunak) dan sirip dubur (anal) dengan 3 duri dan 8-11 jari-jari. Tubuh berwarna kehitaman atau keabuan, dengan beberapa pita gelap melintang (belang) yang makin mengabur pada ikan dewasa. Ekor bergaris-garis tegak, 7-12 buah. Tenggorokan, sirip dada, sirip perut, sirip ekor dan ujung sirip punggung dengan warna merah atau kemerahan (atau kekuningan) ketika musim berbiak. Ikan nila dilaporkan sebagai pemakan segala (omnivora), pemakan plankton, sampai pemakan aneka tumbuhan sehingga ikan ini diperkirakan dapat dimanfaatkan sebagai pengendali gulma air (Amri, 2008).
3. Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Menurut Saanin (1984) sistematika dari ikan mas adalah sebagai berikut :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
subfilum : Vertebrata
kelas : Pisces
ordo : Osteichtyes
famili : Cyprinidae
genus : Cyprinus
spesies : Cyprinus carpio
Ikan mas memiliki tubuh memanjang dan agak pipih ke samping. Ukuran dan warna badan sangat beragam. Seluruh tubuhnya ditutupi sisik yang bersifat sikloid, mulut terletak di ujung dan dapat disembulkan. Pada bagian mulut terdapat sepasang sungut. Sirip punggung panjang dengan bagian belakang berjari-jari keras. Ikan mas merupakan ikan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, dagingnya banyak disukai orang, mudah berkembang biak, dan mudah beradaptasi. Ikan mas merupakan ikan yang mudah dipijahkan, dapat memanfaatkan makanan buatan, relatif tahan terhadap penyakit, pertumbuhannya cepat dan mempunyai toleransi yang besar terhadap kisaran suhu dan terhadap oksigen terlarut (Amri, 2008).
4. Ikan Patin (Pangasius pangasius)
Menurut Saanin (1984) sistematika dari ikan patin adalah sebagai berikut :
phyllum : Chordata
subphyllum : Vertebrata
class : Pisces
ordo : Ostarioplaysi
subordo : Siluriodea
famili : Pangasidae
genus : Pangasius
spesies : Pangasius pangasius
Secara morfologi ikan patin mempunyai badan memanjang dan pipih, posisi mulut terminal, dan dilengkapi dengan 4 buah sungut. Sirip punggung berduri dan dan terdapat sirip tambahan serta garis lengkung mulai dari kepala sampai pangkal sirip ekor. Bentuk sirip ikan patin agak bercagak dengan bagian tepi berwarna putih dengan garis hitam di tengah. Ikan ini mempunyai panjang maksimum 150 cm (Amri, 2008).
Bahar (2006) menyatakan bahwa ikan patin termasuk golongan ikan karnivora (pemakan hewan). Ikan ini digolongkan sebagai ikan dasar atau demersal yang bersifat nocturnal. Makanan ikan patin di alam antara lain berupa ikan-ikan kecil, detritus, serangga, udang-udangan dan moluska. Kepala ikan patin biasanya lebar dengan mulut terletak di ujung dan mata agak di bawah sudut mulut. Sirip punggung terletak agak ke depan, antara sirip punggung dan sirip ekor terdapat sirip tambahan yaitu sirip lemak. Panjang sirip dubur biasanya sepertiga dari panjang tubuh, berwarna merah dengan sirip tengah berwarna merah dan mempunyai jari-jari yang berkisar antara 34-36 buah. Jari-jari sirip perutnya sebanyak 8-9 buah (Amri, 2008).
5. Ikan Kembung (Rastrelliger sp)
Menurut Saanin (1984) sistematika dari ikan kembung adalah sebagai berikut :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
subfilum : Vertebrata
kelas : Actinopterygii
ordo : Percomorphi
family : Scombridae
genus : Rastrelliger
species : Rastrelliger sp
Ikan kembung memiliki bentuk badan seperti anak ikan cakalang, tetapi bukan termasuk kedalam ikan cakalang. Panjang tubuhnya antara 15-40 cm dengan berat antara 300 gr sampai 1 kg/ekor. Ikan kembung ini tidak begitu langsing, bentuknya pendek, gepeng dan agak lebar. Lapisan insang halusnya berukuran kira-kira 29-34 cm yang terdapat pada bagian bawah insang pertama. Ususnya sangat panjang sekitar 3,4 kali panjang badannya. Ikan ini merupakan ikan pemakan plankton. Ikan kembung berwarna putih agak keperak-perakan pada bagian atasnya dan pada bagian bawahnya berarna putih. Terdapat seperti bintik-bintik hitam pada bagian punggungnya. Sirip pada punggung bagian bawahnya berwarna kuning keabuan dengan pinggiran gelap (Amri, 2008).
6. Ikan Lele (Clarias bathracus)
Menurut Saanin (1984) sistematika dari ikan lele adalah sebagai berikut :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Pisces
ordo : Percobriformes
sub ordo : Siluroidae
famili : Clariidae
genus : Clarias
spesies : Clarias bathracus
Pada mulanya nama ilmiah ikan lele (Clarias bathracus) ciri-ciri ikan lele mempunyai kulit yang tidak bersisik (licin), berwarna gelap pada bagian punggung dan sisi tubuh. bila dalam keadaan stress kulitnya seperti mosaic berwarna gelap dan tolol putih (terang). Mulut lebar sehingga memakan mangsannya yang panjangnya seperempat panjang tubuh. Disekitar tubuhnya terdapat delapan buah sungut yang berfungsi sebagai peraba (Amri, 2008).

B. Penggaraman dan Pengeringan
Dalam proses pelaksanaannya, pengaram dan pengeringan dilakukan secara bertahap, didahului dengan penggaraman kemudian baru dilakukan pengeringan. Adapun tinjauan pustaka dari materi praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Penggaraman
Menurut Ruhil Fida (2007) istilah penggaraman yang lebih akrab dikenal dengan sebutan pengasinan, merupakan cara pengawetan ikan yang produknya paling gampang ditemui diseluruh pelosok Indonesia. Ada beberapa alasan yang menyebabkan teknologi penggaraman ini merupakan cara yang paling banyak dilakukan untuk mengawetkan ikan, yaitu :
a. Teknik penggaraman merupakan teknologi yang sangat sederhana dan dapat dilakukan oleh semua orang
b. Teknologi yang menggunakan garam ini merupakan cara pengawetan paling murah
c. Hasil olahan yang dikombinasikan dengan cara pengeringan mempunyai daya tahan lama, sehingga dapat disimpan atau didistribusikan ke daerah yang jauh tanpa memerlukan perlakukan khusus
d. Produk ikan asin harganya murah, sehingga dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat
Menurut Ruhil Fida (2007) secara umum pengertian penggaraman adalah suatu rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengawetkan produk hasil perikanan dengan menggunakan garam. Garam yang digunakan adalah jenis garam dapur (NaCl), baik berupa kristal maupun larutan. Mekanisme pengawetan ikan melalui proses penggaraman adalah sebagai berikut :
a. Garam menyerap air dari dalam tubuh ikan melalui proses osmosa. Akibatnya kandungan air dalam tubuh ikan yang menjadi media hidup bakteri menjadi berkurang. Kekurangan air dilingkungan tempat bakteri hidup mengakibatkan proses metabolisme dalam tubuh bakteri menjadi terganggu. Dengan demikian proses kemunduran mutu ikan oleh bakteri dapat dihambat atau dihentikan.
b. Selain menyerap kandungan air dari tubuh ikan, garam juga menyerap air dari dalam tubuh bakteri sehingga bekteri akan mengalami plasmolisis (pemisahan inti plasma) sehingga bakteri akan mati.
Teknologi penggaraman biasanya tidak digunakan sebagai metode pengawetan tunggal, biasanya masih dilanjutkan dengan proses pengawetan lain seperti pengeringan ataupun dengan perebusan. Sehingga kita bias menjumpai tiga macam produk ikan asin, yaitu : ikan asin basah, ikan asin kering dan ikan asin rebus (Budiman, 2004).
Pengertian penggaraman adalah suatu rangkaian proses pengawetan ikan dengan cara mencampurkan garam dengan ikan baik dalam bentuk kristal maupun larutan garam. Garam yang dicampurkan dengan ikan akan menyerap kandungan air dalam tubuh ikan sehingga kegiatan metabolsme bakteri didalam tubuh ikan akan dapat dihambat atau dihentikan.
Untuk menghasilkan produk penggaraman yang baik maka harus memperhatikan hal-hal sebagai , pemilihan bahan baku, garam, wadah/alat/tempat yang digunakan, serta memprhatikan aspek sanitasi dan higiene. Tahapan proses penggaraman terdiri dari, persiapan peralatan, pemilihan bahan baku, penyortiran, penyiangan, pencucian, penirisan, dan penggaraman. Metode penggaraman dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu dry salting (penggaraman kering), wet salting (penggaraman basah) dan kench salting (penggaraman kering tanpa wadah).
Menurut Muhammad Syarif Budiman (2004) kecepatan proses penyerapan garam kedalan tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut :
a. Kesegaran tubuh ikan. Semakin segar ikan, maka proses penyerapan garam kedalam tubuh ikan akan semakin lambat.
b. Kandungan lemak. Lemak akan menghalangi masuknya garam kedalam tubuh ikan, sehingga ikan yang kandungan lemaknya tinggi akan mengalami penyerapan garam yang lambat.
c. Ketebalan daging ikan. Semakin tebal daging ikan maka proses penggaraman semakin lambat.
d. Kehalusan kristal garam. Garam yang halus akan lebih cepat larut dan meresap kedalam tubuh ikan. Tetapi penyerapan yang terlalu cepat akan mengakibatkan permukaan daging cepat mengeras (Salt burn) dan ini akan menghambat keluarnya kandungan air dari bagian dalam tubuh ikan.
e. Suhu. Semakin tinggi suhu larutan, maka viskositas larutan garam semakin kecil sehingga proses penyerapan akan semakin mudah.
Menurut Muhammad Syarif Budiman (2004) pada dasarnya, metode penggaraman ikan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu penggaraman kering (dry salting), penggraman basah (wet salting) dan kench salting. Namun selain itu terkadang dilakukan metode penggaraman campuran.
a. Penggaraman Kering (dry salting)
Metode penggaraman kering menggunakan kristal garam yang dicampurkan dengan ikan. Pada umumnya, ikan yang berukuran besar dibuang isi perut dan badannya dibelah dua. Dalam proses penggaraman ikan ditempatkan didalam wadah yang kedap air. Ikan disusun rapi dalam wadah selapis demi selapis dengan setiap lapisan ikan ditaburi garam. Lapisan paling atas dan paling bawah wadah merupakan lapisan garam. Garam yang digunakan pada proses penggaraman umumnya berjumlah 10 %-35 % dari berat ikan yang digarami (Fida, 2007).
Pada waktu ikan bersentuhan dengan kulit atau daging ikan (yang basah/berair), garam itu mula-mula akan membentuk larutan pekat. Larutan ini kemudian akan meresap kedalam daging ikan melalui proses osmosa. Jadi, kristal garam tidak langsung menyerap air, tetapi terlebih dahulu berubah jadi larutan. Semakin lama larutan akan semakin banyak dan ini berarti kandungan air dalam tubuh ikan semakin berkurang (Fida, 2007).
b. Penggaraman Basah (wet salting)
Penggaraman basah menggunakan larutan garam 30-35 % (dalam 1 liter air terdapat 30–35 gram garam). Ikan yang akan digarami dimasukkan kedalam larutan garam tersebut, kemudian bagian atas wadah ditutup dan diberi pemberat agar semua ikan terendam. Lama waktu perendaman tergantung pada ukuran ketebalan tubuh ikan dan derajat keasinan yang diinginkan (Fida, 2007).
Dalam proses osmosa, kepekatan larutan garam akan semakin berkurang karena adanya kandungan air yang keluar dari tubuh ikan, sementara itu molekul garam masuk kedalam tubuh ikan. Proses osmosa akan berhenti apabila kepekatan larutan diluar dan didalam tubuh ikan sudah seimbang (Fida, 2007).
c. Kench Salting
Pada dasarnya, teknik penggaraman ini sama dengan pengaraman kering (dry salting) tetapi tidak mengunakan bak atau wadah penyimpanan. Ikan dicampur dengan garam dan dibiarkan diatas lantai atau geladak kapal, larutan air yang terbentuk dibiarkan mengalir dan terbuang. Kelemahan dari cara ini adalah memerlukan jumlah garam yang lebih banyak dan proses penggaraman berlangsung sangat lambat (Fida, 2007).
d. Campuran
Merupakan metode penggaraman yang dilakukan dengan cara penggabungkan penggaraman kering (dry salting) dan Penggaraman Basah (wet salting). Pelaksanaanya dengan cara melakukan penggaraman kering dahulu kemudian baru disusul oleh penggaraman basah. Secara tehnis cara ini sangat efektif dalam proses inokulasi garam. Namun dari segi ekonomis merugikan karena kebutuhan garam yang dibutuhkan secara otomatis akan bertambah.
2. Pengeringan
Pengeringan merupakan metode pengawetan produk yang pertama dilakukan oleh manusia. Selama proses pengeringan, ikan akan mengalami pengurangan kadar air yang mengakibatkan proses metabolisme bakteri pembusuk dalam tubuh ikan menjadi terganggu. Sehingga proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat atau dihentikan. Tahapan proses pengeringan terdiri dari : pengangkatan ikan dari wadah penggaraman, pencucian, pengeringan, peyortiran dan pengemasan (Budiman, 2004).
Peralatan yang diperlukan selama proses pengeringan terdiri dari wadah pencucian, para-para (untuk pengeringan alami), ruang pengeringan (untuk pengeringan mekanis), kardus pengepakan. Ada dua metode pengeringan yang bias dilakukan yaitu : Pengeringan alami dan pengeringan mekanis. Keuntungan pengeringan alami antara lain adalah tidak memerlukan peralatan dan keterampilan khusus tetapi memiliki kelemahan yaitu membutuhkan tempat yang luas serta waktu pengeringan (suhu) sulit dikendalikan. Keuntungan pengeringan mekanis antara lain : waktu pengeringan (suhu) dapat dikendalikan dan tidak memerlukan tempat yang luas. Kelemahan pengeringan mekanis antara lain membutuhkan sarana dan keterampilan khusus(Budiman, 2004).
Menurut Muhammad Syarif Budiman (2004) cara pengeringan bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu pengeringan alami dan pengeringan mekanis (buatan).
a. Pengeringan alami.
Pengeringan alami adalah proses pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan media angin dan sinar matahari. Dalam pengeringan alam, ikan dijemur diatas rak-rak yang dipasang miring (+15o) kearah datangnya angin dan diletakkan ditempat terbuka supaya terkena sinar matahari dan hembusan angin secara langsung. Keunggulan pengeringan alami adalah proses sangat sederhana, murah dan tidak memerlukan peralatan khusus sehingga gampang dilakukan oleh semua orang (Budiman, 2004).
Pada proses pengeringan ini, angin berfungsi untuk memindahkan uap air yang terlepas dari ikan, dari atas ikan ke tempat lain sehingga penguapan berlangsung lebih cepat. Tanpa adanya pergerakan udara, misalnya jika penjemuran ditempat tertutup (tanpa adanya hembusan angin), pengeringan akan berjalan lambat. Selain tiupan angin, pengeringan alami juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari pada saat penjemuran berlangsung. Makin tinggi intensitasnya maka proses pengeringan akan semakin cepat berlangsung begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, proses pengeringan alami sering terhambat pada saat musim penghujan karena intensitas cahaya matahari sangat kurang. Karena lambatnya pengeringan, proses pembusukan kemungkinan tetap berlangsung selama proses pengeringan (Budiman, 2004).
Masalah lain yang dihadapi pada pengeringan alami adalah ikan yang dijemur ditempat terbuka gampang dihinggapi serangga atau lalat. Lalat yang hinggap akan meninggalkan telur, dalam waktu 24 jam telur tersbut akan menetas dan menjadi ulat yang hidup didalam daging ikan (Budiman, 2004).
b. Pengeringan Mekanis
Karena banyaknya kesulitan yang didapat pada proses pengeringan alami terutama pada saat musim penghujan, maka manusia mencoba membuat alat baru untuk menghasilkan produk yang lebih baik dengan cara yang lebih efisien. Pada pengeringan mekanis, ikan disusun diatas rak-rak penyimpanan didalam ruangan tertutup yang dilengkapi dengan beberapa lubang ventilasi. Kedalam ruangan tersebut, ditiupkan hawa panas yang dihasilkan dari elemen pemanas listrik. Hawa panas ditiupkan dengan sebuah kipas angin atau blower supaya mengalir ke arah rak-rak ikan. angin yang membawa uap air dari tubuh ikan akan keluar dari lubang-lubang ventilasi (Budiman, 2004).
Pengeringan mekanis memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut :
1). Ketinggian suhu, kelembaban dan kecepatan udara mudah diatur
2). Sanitasi dan higiene lebih mudah dikendalikan
3). Tidak memerlukan tempat yang luas
4). Waktu pengeringan menjadi lebih teratur (tidak terpengaruh oleh adanya musim hujan).
III. METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat
Praktikum Penggaraman dan Pengeringan ini dilaksanakan pada tanggal 14 April 2010 pukul 14.30 s/d 16.00 WIB di Laboraturium Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Indralaya.

B. Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum Penggaraman dan Pengeringan ini adalah baskom, kater atau pisau, plastik meja makan. Sedangkan bahan pada praktikum Penggaraman dan Pengeringan ini adalah garam, air, ikan. Ikan yang digunakan pada praktikum ini adalah Ikan Sepat (Trichogaster sp), ikan nila (Oreochromis niloticus), ikan mas (Cyprinus carpio), ikan patin (Pangasius pangasius), ikan lele (Clasias bathracus) dan ikan kembung (Rastrelliger sp).

C. Cara Kerja
Adapun Cara kerja yang dilaksanakan pada praktikum Penggaraman dan Pengeringan ini dibagi menjadi dua yaitu :
1. Penggaraman Kering (dry salting)
a. Belah ikan dari arah dorsal bagian depan memanjang kebagian belakang (anal) sehingga membentuk belahan seperti kupu-kupu.
b. Buang isi perut (jeroan) serta insangnya dan garami ikan tersebut sesuai dengan kelompok perlakuan yaitu 5%, 10% dan 15%. Caranya ditaburi secara merata ikan-ikan sesuai dengan kelompok perlakuan dan masukkan ke dalam baskom.
c. Kelompokkan ikan tersebut dari dalam baskom dan jemur di bawah sinar matahari dalam nampan sampai kering.



















Gambar diagram alir penggaraman kering (Dry Salting)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Setelah melaksanakan praktikum Pengamatan Kemunduran Mutu Ikan ini diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil Pengamatan Praktikum Pengamatan Kemunduran Mutu Ikan
Kelompok Nama Ikan No Sampel Berat Awal (gr) Berat Akhir (gr)
I. Ikan Nila
(Oreochormis niloticus)
1 34,2
2 -
3 -
II. Ikan Mas
(Cyprinus carpio) 1 80,1
2 -
3 -
III. Ikan Patin
(Pangasius pangasius) 1 130,0
2 -
3 -
IV. Ikan Sardine
(Sardinella sirm) 1 104,0
2 -
3 -
V. Ikan Kembung
(Rastrelliger sp)
1 142,6
2 -
3 -
VI. Ikan Tongkol
(Auxis thazard)
1 164,2
2 -
3 -





B. Pembahasan
Setelah dilakukanya praktikum maka hasil yang diperoleh serta hasil pengamatan secara langsung pada objek praktikum yaitu ikan yang telah dilakukan penggaraman. Sehingga diperoleh hasil yang kurang begitu memuaskan. Hal ini karena, ikan telah dilakukan penjemuran, timbul larva atau belatung yang ukuran kecil dengan warna putih kekuningan pada daging ikan. Belatung ini cukup banyak terdapat pada seluruh bagian tubuh ikan tersebut terutama pada bagian badan yang merupakan bagian yang paling banyak lapisan dagingnya.
Adanya belatung ini dapat disebabkan oleh hinggapnya larva lalat yang jatuh pada ikan yang masih lembab. Larva akan terus makan sebagai persiapan cadangan makanan untuk dapat masuk dalam stadia berikutnya yaitu pupa. Sehingga ketika telah masuk stadia pupa terdapat energi yang cukup untuk dapat melakukan proses metamorfosis yang berasal dari cadangan makanan yang telah dipersiapkan.
Faktor berikutnya yang menjadi penyebab timbulnya belatung atau larva lalat ini karena proses pengeringan yang berjalan dalam waktu yang lama. Hal ini karena kadar air dalam daging ikan yang masih cukup tinggi akan memicu pertumbuhan atau percepatan pertumbuhan dari telur lalat yang telah terdapat dalam daging ikan tersebut. Lamanya proses pengringan ini karena faktor cuaca. Karena proses pengeringan masih menggunakan bantuan matahari, karena keadaan cuaca yang sering hujan mengakibatkan proses pengeringan ikan pun menjadi terhambat.
Karena adanya larva lalat, ikan juga mengeluarkan bau yang tidak sedap. Bau ini berasal dari amoniak hasil dari penguraian dari protein. Ini dikarenakan adanya proses penguraian secara kimia yang disebabkan oleh aktifitas enzim dalam proses penguraiaan protein tersebut. Enzim ini selain dari enzim yang beral dari ikan tersebut juaga berasal dari larva lalat tersebut.





V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Setelah melaksanakan praktikum Penggaraman dan Pengeringan ini maka dapat dioleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Pada proses penggaraman terdapat empat metode yaitu dry salting, wet salting, kench salting dan campuran atau kombinasi.
2. Penggaraman secara dry salting sangat efektif dalam penyerapan air dari dalam tubuh ikan.
3. Garam memiliki sifat hidroskopis yang merupakan sifat dasar yang sangat penting dan dibutuhkan dalam proses penggaraman.
4. Pada hasil penggaraman yang perlakuan yang kurang baik akan menyebabkan timbulnya belatung atau larva.
5. Konsentrasi garam yang digunakan sangat mempengaruhi hasil dan kwalitas yang diperoleh.

B. Saran
Kepada para asisten agar pelaksanaan praktikum agar lebih tenang agar tidak mengganggu jalannya praktikum dan mempermudah para praktikan dalam mengumpul laporan.

DAFTAR PUSTAKA

Amri, Khairul. 2008. Klasifikasi Ikan. (http://www.wikipedia.com diakses 20 April 2010)
Fida, Ruhil. 2007.Teknologi Pasca Panen. SPP Negeri Sembawa. Palembang.
Liza, N. 2007. Pengolahan Hasil Perikanan. Gramedia. Jakarta.
Purwanto, Budi. 2010. Dasar-dasar Teknologi Hasil Perikanan. Universitas Sriwijaya. Indralaya.

Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid 1 dan 2. Binacipta, Jakarta.
Sugianto. 1986. Kekayaan Laut Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta.
Syarif Budiman, Muhammad. 2004. Penggaraman dan Pengeringan. Departemen Pendidikan. Jaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar